Monday, February 21, 2011

Nilai RM10...

Seorang bapa pulang ke rumah dalam keadaan letih disambut oleh anak lelakinya yang berusia tujuh tahun di muka pintu.

“Ayah, boleh tak Amin tanya satu soalan?”

“Ya, nak tanya apa?”

“Berapa pendapatan ayah sejam?”

“Itu bukan urusan kamu. Buat apa nak sibuk tanya?”

“Amin saja nak tahu ayah. Tolonglah bagi tahu berapa ayah dapat sejam bekerja di pejabat?”

“20 ringgit sejam.”

“Oh…” kata si anak sambil tunduk menekur lantai. Kemudian memandang wajah ayahnya semula sambil bertanya, “Ayah….boleh tak Amin pinjam sepuluh ringgit daripada ayah?”

Si ayah menjadi berang dan berkata, “Oh, itu ke sebabnya kamu tanya pasal pendapatan ayah? Kamu nak buat apa sampai mintak sepuluh ringgit? Nak beli barang mainan lagi? Jangan nak membazir. Ayah kerja penat-penat bukan untuk buang duit sebarangan. Sekarang pergi balik ke bilik dan tidur, dah lewat dah ni...”

Kanak-kanak tujuh tahun itu terdiam dan perlahan-lahan melangkah kembali ke biliknya. Si ayah duduk di atas sofa dan mula memikirkan mengapa anaknya yang kecil itu memerlukan duit sebanyak itu. Kira-kira dua jam kemudian si ayah kembali tenang dan terfikir kemungkinan anaknya benar-benar memerlukan duit untuk keperluan di sekolahnya kerana anaknya tidak pernah meminta wang sebanyak itu sebelum ini. Dengan perasaan bersalah si ayah melangkah menuju bilik anaknya dan membuka pintu.

Didapati anaknya masih belum tidur. “Kalau kamu betul-betul perlu duit, nah ambillah sepuluh ringgit ini,” kata si ayah.

Kanak-kanak itu segera bangun dan tersenyum girang. “Terima kasih banyak ayah,” katanya begitu gembira. Kemudian dia tercari-cari sesuatu di bawah bantalnya dan mengeluarkan sekeping not sepuluh ringgit yang sudah renyuk.

Bila ternampak duit itu si ayah kembali berang. “Kenapa kamu mintak duit lagi sedangkan kamu dah ada duit sebanyak itu? Dari mana kamu dapat duit di bawah bantal tu?” Jerkah si ayah.

Si anak tunduk tidak berani merenung wajah ayahnya. “Duit ini Amin kumpul dari belanja sekolah yang ayah beri setiap hari. Amin minta lagi 10 ringgit sebab duit yang Amin ada sekarang tak cukup,” jawab si anak perlahan.

“Tak cukup untuk beli apa?” soal balik si ayah.

“Ayah, sekarang Amin sudah ada 20 ringgit. Ayah ambil duit ni. Amin nak beli sejam dari masa ayah. Amin nak makan malam bersama ayah,” jawab si anak tanpa berani memandang wajah ayahnya.

Baru si ayah benar-benar faham maksud anaknya itu....



Moral :

Kadangkala kita terlampau sibuk sehingga mengabaikan insan tersayang yang dahagakan kasih sayang dan perhatian kita. Oleh itu, luangkan sedikit waktu untuk bersama mereka...

Berdoalah....

Ya Allah...ampunilah dosaku dan keluargaku serta kedua-dua ibu bapaku.

Suatu hari...

Wednesday, February 16, 2011

ha..ha...

salam semua warga mamat family....

AL-IMAM BUKHARI...

Makam Al Imam Bukhari ra

Amirul Mukminin fil Hadits, gelar itu didaulatkan para ulama kepada ahli hadis dari Kota Bukhara, Uzbekistan. Tak salah bila ulama besar di abad ke-9 M ini ditabalkan sebagai ‘Pemimpin Kaum Mukmin dalam Ilmu Hadis’. Betapa tidak, hampir seluruh ulama merujuk kitab kumpulan hadis sahih yang disusunnya.



Para ulama juga bersepakat, Al Jami’ as Sahih atau Sahih Al Bukhari—kumpulan hadis sahih sebagai kitab paling otentik setelah Alquran. Sahih Al Bukhari yang disusun ulama legendaris asal ‘kota lautan pengetahuan’—Bukhara—itu juga diya kini kalangan ulama Sunni sebagai literatur hadis yang paling afdol.

Sang ulama fenomenal itu mendedikasikan hidupnya untuk menyeleksi secara ketat ratusan ribu hadis yang telah dihafalnya sejak kecil. Karyanya yang sangat monumental itu bak cahaya yang telah menerangi perjalanan hidup umat Islam. Ribuan hadis sahih telah dipilihnya menjadi pedoman hidup umat Islam, sesudah Alquran.

Ulama besar dan ahli hadis nomor wahid ini memiliki nama lengkap Muhammad Ibnu Ismail Ibnu Ibrahim Ibnu Al Mughirah Ibnu Bardizbah Al Bukhari. Ia lebih dikenal dengan nama tanah kelahirannya, Bukhara. Dan, masyarakat Muslim pun biasa memanggilnya Imam Bukhari.

Pemimpin kaum Mukminin dalam ilmu hadis itu terlahir pada hari Jumat, 13 Syawal 194 H, bertepatan dengan 20 Juli 810 M. Sejak kecil, Imam Bukhari hidup dalam keprihatinan. Alkisah, ketika terlahir ke dunia, Bukhari cilik tak bisa melihat alias buta. Sang bunda tak putus dan tak tak pernah berhenti berdoa dan memohon kepada Allah SWT untuk kesembuhan penglihatan putranya.

Sang Khalik pun mengabulkan doadoa yang selalu dipanjatkan ibu Imam Bukhari. Secara menakjubkan, ketika menginjak usia 10 tahun, penglihatan bocah yang kelak menjadi ulama terpandang itu kembali normal. Imam Bukhari sudah akrab dengan ilmu hadis sejak masih belia. Sang ayah, Ismail Ibnu Ibrahim, juga seorang ahli hadis yang terpandang.

Ismail merupakan salah seorang murid ulama terpandang, Hammad ibnu Zaid dan Imam Malik. Sang ayah tutup usia saat Imam Bukhari masih belia. Meski hidup sebagai seorang anak yatim yang serba pas-pasan, Bukhari cilik tak pernah putus asa. Ia menghabiskan waktunya untuk belajar dan belajar, tanpa merisaukan masalah keuangan.

Ilmu hadis telah membetot perhatiannya sejak kecil. Selain belajar Alquran dan pelajaran penting lainnya, ilmu hadis adalah favoritnya. Sejak penglihatannya menjadi normal, dia sudah membaca karya-karya atau kitab hadis yang ada. Bahkan, menginjak usia 16 tahun, Imam Bukhari sudah mampu menghafal karya-karya Waki dan Abdullah Ibnu Al Mubarak.

‘’Sekali saja ia membaca buku, dia sudah hafall isinya,’‘ papar Ibnu Katheer yang terkagum-kagum dengan daya ingat sang ahli hadis. Daya ingat dan kecepatannya dalam menghafal sungguh tiada dua pada zamannya. Kekuatan intelektualnya sungguh sangat memukau dan menakjubkan.

Pada usia 10 tahun, Imam Bukhari sudah mampu menghafal 70 ribu hadis. Tanpa bermaksud jemawa, Imam Bukhari sempat berkata, ‘’Saya hafal seratus ribu hadis sahih dan saya juga hafal dua ratus ribu hadis yang tidak sahih.’‘ Ia tak cuma mampu menghafal ratusan ribu hadis, namun juga mampu menyebutkan sanad dari setiap hadis yang diingatnya.

‘’Dia diciptakan Allah SWT seolaholah hanya untuk hadis,’‘ tutur Muhammad bin Abi Hatim mengutip perkataan Abu Ammar Al Husein bin Harits yang terkagum-kagum dengan daya ingat dan kecerdasan Imam Bukhari. Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah menilai, Imam Bukhari sebagai manusia di muka bumi yang paling kuat ingatannya dalam menghafal hadis.

Menginjak usia 16 tahun, Imam Bukahri bersama ibu dan saudaranya pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah. Perjalanan pertamanya ke Semenanjung Arab itu dimanfaatkan untuk meningkatkan pengetahuannya tentang ilmu hadis. Imam Bukhari pun berkelana dari satu kota pusat pengetahuan ke kota lainnya. Di setiap kota, ia berdiskusi dan bertukar informasi tentang hadis dengan para ulama.

Imam Bukhari sempat menetap di sejumlah kota pusat intelektual Muslim, seperti Basrah, Hijaz, Mesir, Kufah, dan Baghdad. Ketika tiba di kota Basrah, penguasa kota itu menyambut dan mendaulatnya untuk mengajar. Kedatangannya di Baghdad—ibu kota pemerintahan Kekhalifahan Abbasiyah—juga mendapat perhatian dari para ulama dan petinggi kota itu.

Sepuluh ulama hadis di kota itu pun mencoba menguji kemampuan dan daya ingatnya dalam menghafal sabda Rasulullah SAW. Para ulama itu lalu menukarkan sanad dari ratusan hadis. Dalam sebuah pertemuan, para ulama itu lalu menanyakan hadis-hadis yang telah ditukar-tukar sanad-nya itu.

Namun, Imam Bukhari mengaku tak mengenal hadis yang ditanyakan para ulama Baghdad itu. Lalu, ia membacakan hadis-hadis itu dengan sanad yang benar. Para ulama Baghdad pun terkagum-kagum dengan kecerdasan dan ketelitian sang ahli hadis. Ujian serupa juga dilakukan para ulama di berbagai kota yang disinggahinya. Dan, ujian itu berhasil dilaluinya dengan baik.

Pada usia 18 tahun, secara khusus, Imam Bukhari mencurahkan pikiran dan waktunya untuk mengumpulkan, mempelajari, menyeleksi, dan mengatur ratusan ribu hadis yang dikuasai dan dihafalnya. Demi memurnikan dan mencapai hadis-hadis yang paling otentik dan sahih, ia berkelana ke hampir seluruh dunia Islam, seperti Mesir, Suriah, Arab Saudi, serta Irak.

Dengan penuh kesabaran, ia mencari dan menemui para periwayat atau perawi hadis dan mendengar langsung dari mereka. Tak kurang dari 1.000 perawi hadis ditemuinya. Hingga kahirnya, Imam Bukahri menguasai hampir lebih dari 600 ribu hadis, baik yang sahih maupun dhaif. Perjalanan mencari dan menemukan serta membuktikan kesahihan hadis-hadis itu dilakukannya selama 16 tahun.

Setelah sekian lama mengembara, ia lalu kembali ke Bukhara dan merampungkan penysunan kitab yang berisi kumpulan hadis sahih berjudul Al Jami’ Al Sahih. Kitab hadis yang menjadi rujukan para ulama itu berisi 7.275 hadis sahih. Pada usia 54 tahun, dia berkunjung ke Nishapur, sebuah kota di Asia Tengah. Di kota itu, Imam Bukhari diminta untuk mengajar hadis. Salah seorang muridnya adalah Imam Muslim yang juga terkenal dengan kitabnya Sahih Muslim.

Imam Bukhari lalu hijrah ke Khartank, sebuah kampung di dekat Bukhara. Para penduduk desa memintanya untuk tinggal di tempat itu. Imam Bukhari pun tinggal di Desa Khartank hingga tutup usia pada usia 62 tahun. Ia meninggal dunia pada tahun 256 H/ 870 M. Meski telah meninggal 13 belas abad yang lalu, namun cahaya dari Bukhara itu tak pernah padam dan terus menerangi kehidupan umat Muslim.